Stigma terhadap Gangguan Mental





Stigma adalah ‘pelabelan’ yang terjadi dalam masyarakat terhadap suatu hal dan cenderung menjatuhkan hal tersebut. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Biasanya stigma terjadi  pada beberapa fenomena yang terjadi dalam masyarakat, yang sekiranya dalam masyarakat tersebut belum tersedianya info yang cukup terkait fenomena tersebut. Misalnya terhadap gangguan mental, yang di Indonesia sendiri masih banyak stigma yang berkembang didalam kehidupan sehari-hari. Misalnya :
Ø  Anggapan bahwa gangguan mental berkaitan dengan supranatural, gangguan roh halus, gangguan jin, kerasaukan, dsb. Beberapa daerah di Indonesia (khususnya bagian perbatasan, daerah terpencil) masih menganggap bahwa gangguan mental ada sangkut-pautnya dengan kekuatan mistis, sehingganya untuk menyembuhkan/mengobati orang dengan gangguan mental adalah dengan pergi ke dukun, paranormal, dll. Gangguan yang sering dikaitkan dengan hal tersebut misalnya gangguan depresi, gangguan schizophrenia dan DID/Kepribadian ganda. Ini dikarenakan gangguan-gangguan tersebut biasanya menghasilkan simtom yang hampir serupa dengan orang yang kerasukan misalnya adanya waham atau delusi (ex. Merasa dirinya adalah orang lain, hewan, atau bahkan Tuhan)
Ø  Anggapan bahwa gangguan mental merupakan aib yang sangat memalukan bagi keluarga penderita Sangat jelas bahwa masyarakat kita masih menganggap bahwa gangguan mental itu merupakan sebuah aib yang akan mencemari nama baik serta citra keluarga. Hal ini dikarenakan simtom atau gejala yang ditimbulkan dari ganggguan mental dianggap ‘aneh’ oleh masyarakat luas. Misalnya berbicara sendiri, tertawa sendiri (r: halusinasi) yang biasanya terjadi pada orang dengan gangguan schizophrenia.
Ø  Anggapan bahwa gangguan mental identik dengan adanya kekerasan Untuk beberapa kasus, gangguan mental sering diidentikan dengan kekerasan. Masyarakat beranggapan bahwa semua orang yang mengalami gangguan mental sangat berbahaya, sehingga harus dihindari sampai diisolasi.
Ø  Anggapan bahwa gangguan mental bisa menular Di masyarakat muncul pula anggapan bahwa gangguan mental bisa menular yang artinya ketika berdekatan dengan orang yang memiliki gangguan mental akan ‘terjangkit’, sehingga masyakat akan menghindari orang dengan gangguan mental.
Ø  Anggapan bahwa gangguan mental tidak bisa disembuhkan Muncul juga dalam tatanan masyarakat Indonesia bahwa gangguan mental tidak bisa disembuhkan, untuk itu orang dengan gangguan mental akan dibiarkan begitu saja tanpa adanya perawatan yang cukup memadai
Ø  Anggapan bahwa gangguan mental bisa diturunkan atau lahir dari keturunan Masyarakat menganggap bahwa smeua gangguan mental itu bisa diturunkan atau bisa didapatkan dari keturunan, sehingga dalam hal pernikahan masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih pasangan yang hendak diajak menikah.
Ø  Anggapan bahwa gangguan mental berkaitan dengan tindak pidana pencurian Anggapan yang satu ini berkembang di daerah asal saya, Gorontalo. Ada anggapan yang tersebar bahwa orang dengan gangguan mental seperti skizophrenia (Disana masih disebut ‘orang gila’) yang berjalan mengelilingi kota tanpa busana (r: telanjang), sebenarnya adalah pencuri yang mempunyai kekuatan ‘menghilang’, namun sering gagal beraksi, dan akhirnya pura-pura gila agar tidak dihakimi masyarakat.
Pengetahuan ataupun informasi yang valid tentang gangguan mental memang belum menyebar secara menyeluruh di masyarakat kita. Hal inilah yang kemudian membantu stigma terkait dengan gangguan mental menyebar luas. Selain hal tersebut ada beberapa faktor lain yang ikut membuat stigma ini tetap berkembang, antara lain :
Ø  Tingkat pendidikan masih banyak masyarakat kita yang belum memiliki tingkat pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan yang cenderung rendah membuat informasi mudah diterima tanpa adanya analisis terlebih dahulu. Sehingga semua informasi diserap dengan begitu saja.
Ø  Media Media massa maupun media elektronik punya kekuatan yang menurut saya sangat besar terhadap berkembangnya opini publik. Kurangnya informasi yang dimuat dalam media membuat masyarakat cukup sulit mengakses informasi yang ‘valid’ terkait dengan gangguan mental. Terlebih masih ada juga media yang ‘mempertontonkan’ sosok orang dengan gangguan mental sebagai bahan tertawaan (banyak di film dan sinetron tanah air), orang yang berbahaya, ataupun orang yang memalukan
Ø  Pemerintah Kurangnya perhatian dari pemerintah juga masuk sebgai faktor yang membuat stigma terhadap gangguan mental berkembang. Pelayanan kesehatan mental yang masih kurang memadai membuat penanganan terhadap orang dengan gangguan mental cenderung lamban dan tidak efisien, sehingganya masyarakat akan membiarkan orang dengan gangguan mental tersebut secara terus menerus tanpa adanya perawatan dan penanganan yang tepat.
Ø  Negara yang besar Indonesia merupakan Negara yang wilayahnya sangat luas dan jumlah penduduk yang banyak (Terbanyak nomor 4 di dunia). Besarnya wilayah Indonesia membuat penyampaian informasi tidak tersebar merata. Sehingga ketika ada sosialisasi ataupun penyuluhan tentang informasi ‘valid’ tentang gangguan mental akan sulit tersebar secara merata.
Ø  Kesadaran Masyarakat Masih banyak masyarakat yang tidak peduli terhadap gangguan mental, misalnya sedikit masyarakat yang berusaha untuk mencari informasi terkait dengan gangguan mental. Masyarakat belum sadar penuh bahwa gangguan mental merupakan hal yang cukup penting untuk diketahui.
Ø  Faktor pribadi faktor ini relatif untuk masing-masing individu. Yang saya maksud dengan faktor pribadi adalah prasangka yang ada dalam diri individu. Adanya prasangka yang kemudian disebarluaskan membuat stigma terhadap gangguan mental berkembang dengan baik juga.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari adanya informasi. Informasi yang kita terima shari-hari sangat banyak dan sulit membedakan keabsahan info tersebut. Dari sinilah stigma mulai berkembang, untuk itu menurut saya perlu adanya usaha untuk menghindari stigma terkait gangguan mental tersebut, antara lain :
Ø  Belajar dengan sungguh-sungguh dalam artian mempersiapkan ‘bekal’ yang cukup sebelum terjun berurusan dengan masyarakat. Menjadi mahasiswa psikologi tentunya banyak mendapat materi mengenai gangguan mental, sehingga dari materi tersebut kita bisa belajar lebih dalam agar tidak ‘tersesat’ dikemudian hari. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah membaca buku dan diskusi ilmiah
Ø  Check and Re-Check menurut saya stigma itu seperti halnya hoax yang juga sangat cepat berkembang dalam masyarakat. Untuk itu setiap ada informasi yang kita terima, di cek kembali kebenaran mengenai info tersebut, sumber info, bahkan melakukan penelitian sendiri dengan cara melakukan literature review.
Ø  Menghindari media-media sesat yang hanya focus terhadap bisnis/keuntungan tanpa memperhatikan kuallitas.
Ø  Menghindari artikel-artikel bebas ‘abal-abal’ yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, akan lebih baik membaca sumber ilmiah seperti artikel ilmiah dan jurnal ilmiah.
Ø  Tidak mudah percaya terhadap omongan orang, terlebih yang berbicara tidak meiliki kapabilitas dalam menjelaskan hal tersebut.
Beberapa stigma tentang gangguan mental yang saya kemukakan diatas akan berdampak bagi penderita gangguan mental. Hal ini tentu berbahaya, entah untuk penderita itu sendiri maupun orang-orang yang ada disekitarnya. Untuk itu perlu adanya upaya untuk memberikan pemahaman mengenai bahaya-bahaya tersebut kepada masyarakat, dengan cara :
Ø  Dimulai dari diri sendiri dulu dengan memberikan pemahaman terhadap diri sendiri betapa pentingnya bahaya ketika stigma tentang gangguan metal tetap berkembang.
Ø  Keluarga setidaknya setiap orang memiliki keluarga. Mulai dari keluarga terdekat hingga keluarga terjauh. Ya dalam hal ini, setiap ada perkumpulan keluarga, biasanya akan ada proses Tanya jawab dsb, disini bisa diberikan informasi terkait bahaya stigma gangguan mental, harapannya dengan ‘label’ sebagai mahasiswa psikologi dan orang terdekat, keluarga akan mudah memahami.
Ø  Teman Hampir semua orang memiliki teman di dunia ini, tak terkecuali saya sendiri. Entah itu di dunia nyata ataupun dunia maya, semua teman saling bertukar informasi. Kesempatan inilah yang bisa digunakan untuk memberikan informasi terkait bahaya dari stigma gangguan mental
Ø  Social Media Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial sudah menjadi kebutuhan bagi setiap lapisan masyarakat. Untuk itu penyebarluasan informasi lewat media sosial juga bisa dilakukan, misalnya membuat poster, info grafik, dan status yang dilengkapi bukti-bukti ilmiah. Sama seperti keluarga tadi, harpannya dengan ‘label’ mahasiswa psikologi orang-orang diluaran sana akan percaya terhadap apa yang kita kemukakan
Ø  Memberi masukan pada pemerintah, khususnya kementerian pendidikan dan kebudayaan, untuk mendorong informasi mengenai masalah kesehatan mental dijadikan / dimasukkan kedalam kurikulum, harapannya semenjak dini, anak-anak sudah diperkenalkan mengenai gangguan mental sehingga stigma akan berhenti dengan sendirinya.
Ø  Memberikan psikoedukasi dalam bentuk penyuluhan, bisa melakukan sosialisasi ke masyarakat-masyarakat yang memang sulit mengakses informasi.

Malang, 26 Oktober 2016
Eko Riyaldi Hinta


PSIKOSIS (psikiatri A Psi 5) - Psikologi Brawijaya



PSIKOSIS

(Evan & Yoga, 2016)
 
Psikosis adalah ketidakmampuan seseorang dalam menilai realita, yang ditandai dengan halusinasi dan delusi, emosi dan pikiran yang menyimpang, serta adanya disorganisasi kepribadian. Seseorang dengan gangguan psikotik mengalami perubahan yang menyolok pada proses berpikir, tingkah laku, dan emosi.
Penegakan diagnosis psikosis bergantung pada evaluasi menyeluruh dari banyak simtom dan tanda-tanda, khususnya fokus terhadap proses berpikir, sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama. Berikut ciri-ciri orang dengan gangguan psikotik:

1.      Penampilan dan Tingkah Laku
Seseorang dengan gangguan psikosis biasanya memiliki kecurigaan, kebingungan, menjauh dan tidak memiliki ketertarikan dengan lingkungan. Gerakan tubuh yang ditampilkan biasanya penuh dengan kegelisahan dan mengalami katatonia. Mereka memakai pakaian yang tidak biasanya dipakai kebanyakan orang dan tidak terurus.
2.      Keadaan Afektif
Psikosis dapat terjadi sebagai bagian dari depresi dan manik yang berat. Seseorang dengan gangguan psikotik biasanya menampilkan afeksi yang datar atau afeksi yang tidak sesuai. Dalam kasus ini, abnormalitas mood biasanya mudah terlihat.
3.      Fungsi Intelektual (Kogntif)
Adanya disorientasi kognitif dan hendaya kognitif. Pasien dengan psikotik berat biasanya bingung dengan pengalaman mereka, underestimate dengan umur mereka, dan bertingkah laku lebih buruk dari yang diharapkan di tes psikometrika.
4.      Gangguan Persepsi
Gangguan persepsi yang dialami oleh seseorang dengan gangguan psikotik adalah adanya halusinasi, yakni sensasi imajinasi- seperti melihat, mendengar, atau mencium sesuatu yang tidak ada di dunia nyata. Halusinasi yang sering dialami oleh seseorang dengan gangguan psikotik adalah mendengarkan suara. Biasanya suara tersebut menuntun mereka untuk menyakiti diri sendiri dan sayangnya mereka mematuhinya. Tak jarang mereka merasa bahwa ada serangga yang merayap di kulit mereka, merasa ada racun di makanan mereka, dan mencium gas yang dilemparkan oleh musuh kepadanya.
5.      Proses Berpikir
Seseorang dengan gangguan psikotik mengalami delusi, yaitu kepercayaan yang salah yang bertentangan dengan fakta yang ada. Biasanya mereka menganggap bahwa mereka telah melakukan kejahatan yang mengerikan atau perbuatan yang penuh dosa (depressive), mereka percaya bahwa tubuh orang lain mengeluarkan bau busuk (somatic), mereka percaya bahwa mereka adalah sesorang yang sangat penting (grandeur), mereka percaya bahwa mereka dikendalikan atau dipengaruhi oleh pasukan yang tak terlihat (influence), mereka percaya bahwa orang lain menipu atau memata-matai dirinya (persecution), atau mereka memberikan kontribusi yang berarti bagi kejadian yang tidak bersangkutan (reference).
6.      Tilikan (Insight)
·         Tilikan derajat 1: pasien menyangkal bahwa ia mengalami gangguan psikotik
·         Tilikan derajat 2: pasien mengalami ambivalensi terhadap penyakitnya
·         Tilikan derajat 3: pasien menyalahkan faktor lain yang menyebabkan ia mengalami gangguan psikotik
·         Tilikan derajat 4: pasien menyadari dirinya mengalami gangguan psikotik dan butuh bantuan tetapi tidak memahami penyebab gangguannya.
·         Tilikan derajat 5: pasien menyadari dirinya mengalami gangguan psikotik dari faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguannya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya.
·         Tilikan derajat 6: pasien menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk mencapai perbaikan.